Proses Pembentukan Perilaku
Menyimpang
a. Faktor Biologis
Cesare Lombrosso, seorang kriminolog dari Italia, dalam bukunya Crime, Its Causes
and Remedies (1918) memberikan gambaran tentang perilaku menyimpang yang
dikaitkan dengan bentuk tubuh seseorang. Dengan tegas, Lombrosso mengatakan
bahwa ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan fisiknya kurang maju
apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang biasa. Lombrosso
berpendapat bahwa orang yang jahat dicirikan dengan ukuran rahang dan
tulang-tulang pipi panjang, kelainan pada mata yang khas, tangan beserta jari-jarinya
dan jari-jari kaki relatif besar, serta susunan gigi yang abnormal.
Sementara itu William
Sheldon, seorang kriminolog Inggris dalam bukunya Varieties of
Delinquent Youth (1949) membedakan bentuk tubuh manusia yang mempunyai
kecenderungan melakukan penyimpangan ke dalam tiga bentuk, yaitu endomorph,
mesomorph, dan ectomorph yang masing-masing memiliki
ciri-ciri tertentu.
1) Endomorph (Bulat dan Serba Lembek)
Orang dengan bentuk tubuh ini
menurut kesimpulannya dapat terpengaruh untuk melakukan perilaku menyimpang,
karena sangat mudah tersinggung dan cenderung suka menyendiri.
2) Mesomorph (Atletis, Berotot Kuat, dan Kekar)
Orang dengan bentuk tubuh seperti
ini sering menunjukkan sifat kasar dan bertekad untuk menuruti hawa nafsu atau
keinginannya. Bentuk demikian ini biasanya identik dengan orang jahat yang
paling sering melakukan perilaku menyimpang.
3) Ectomorph (Kurus Sekali dan Memperlihatkan
Kelemahan Daya)
Orang yang seperti ini selalu
menunjukkan kepasrahan, akan tetapi apabila mendapat penghinaan-penghinaan yang
luar biasa tekanan jiwanya dapat meledak, dan barulah akan terjadi perilaku
menyimpang darinya.
b. Faktor Psikologis
Banyak ahli sosiologi yang
cenderung untuk menerima sebab-sebab psikologis sebagai penyebab pembentukan perilaku
menyimpang. Misalnya hubungan antara orang tua dan anak yang tidak harmonis.
Banyak orang meyakini bahwa hubungan antara orang tua dan anak merupakan salah
satu ciri yang membedakan orang 'baik' dan orang 'tidak baik'. Sikap orang tua
yang terlalu keras maupun terlalu lemah seringkali menjadi penyebab deviasi
pada anak-anak.
c. Faktor Sosiologis
Dari sudut pandang sosiologi, telah
banyak teori yang dikembangkan untuk menerangkan faktor penyebab perilaku
menyimpang. Misalnya, ada yang menyebutkan kawasan kumuh ( slum ) di
kota besar sebagai tempat persemaian deviasi dan ada juga yang mengatakan bahwa
sosialisasi yang buruk membuat orang berperilaku menyimpang. Selanjutnya
ditemukan hubungan antara 'ekologi' kota dengan kejahatan, mabuk-mabukan, kenakalan
remaja, dan bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan
beberapa sebab atau proses terjadinya perilaku menyimpang ditinjau dari faktor
sosiologis.
1) Penyimpangan sebagai
Hasil Sosialisasi yang Tidak Sempurna
Menurut teori sosialisasi, perilaku
manusia, baik yang menyimpang maupun yang tidak dikendalikan oleh norma dan
nilai yang dihayati. Apabila sosialisasi tidak sempurna akan menghasilkan
perilaku yang menyimpang. Sosialisasi yang tidak sempurna timbul karena
nilai-nilai atau norma-norma yang dipelajari kurang dapat dipahami dalam proses
sosialisasi, sehingga seseorang bertindak tanpa memperhitungkan risiko yang
akan terjadi.
Contohnya anak sulung perempuan,
dapat berperilaku seperti laki-laki sebagai akibat sosialisasi yang tidak sempurna
di lingkungan keluarganya. Hal ini terjadi karena ia harus bertindak sebagai
ayah, yang telah meninggal. Di pihak lain, media massa, terutama sering
menyajikan gaya hidup yang tidak sesuai dengan anjuran-anjuran yang disampaikan
dalam keluarga atau sekolah. Di dalam keluarga telah ditanamkan perilaku
pemaaf, tidak balas dendam, mengasihi, dan lain-lain, tetapi di televisi selalu
ditayangkan adegan kekerasan, balas dendam, fitnah, dan sejenisnya. Nilai-nilai
kebaikan yang ditawarkan oleh keluarga dan sekolah harus berhadapan dengan
nilai-nilai lain yang ditawarkan oleh media massa, khususnya televisi. Proses
sosialisasi seakan-akan tidak sempurna karena adanya saling pertentangan antara
agen sosialisasi yang satu dengan agen yang lain, seperti antara sekolah dan
keluarga berhadapan dengan media massa. Lama kelamaan seseorang akan
terpengaruh dengan cara-cara yang kurang baik, sehingga terjadilah
penyimpanganpenyimpangan dalam masyarakat.
2) Penyimpangan sebagai
Hasil Sosialisasi dari Nilai- Nilai Subkebudayaan Menyimpang
Shaw dan Mc. Kay mengatakan bahwa daerah-daerah yang tidak
teratur dan tidak ada organisasi yang baik akan cenderung melahirkan daerah
kejahatan. Di daerahdaerah yang demikian, perilaku menyimpang (kejahatan)
dianggap sebagai sesuatu yang wajar yang sudah tertanam dalam kepribadian
masyarakat itu. Dengan demikian, proses sosialisasi tersebut merupakan proses
pembentukan nilai-nilai dari subkebudayaan yang menyimpang.
Contohnya di daerah lingkungan
perampok terdapat nilai dan norma yang menyimpang dari kebudayaan setempat.
Nilai dan norma sosial itu sudah dihayati oleh anggota kelompok sebagai proses
sosialisasi yang wajar. Perilaku menyimpang seperti di atas merupakan penyakit
mental yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan
itu kita mengenal konsep anomie yang dikemukakan oleh Emile
Durkheim . Anomie adalah keadaan yang kontras antara pengaruh
subkebudayaan-subkebudayaan dengan kenyataan sehari-hari dalam masyarakat.
Indikasinya adalah masyarakat seakan-akan tidak mempunyai aturan-aturan yang
dijadikan pegangan atau pedoman dan untuk ditaati bersama.
Akibat tidak adanya keserasian dan
keselarasan, normanorma dalam masyarakat menjadi lumpuh dan arahnya menjadi
samar-samar. Apabila hal itu berlangsung lama dalam masyarakat, maka besar
pengaruhnya terhadap proses sosialisasi. Anggota masyarakat akan bingung dan
sulit memperoleh pedoman. Akhirnya, mereka memilih cara atau jalan
sendiri-sendiri. Jalan yang ditempuh tidak jarang berupa perilaku-perilaku yang
menyimpang.
3) Proses Belajar yang
Menyimpang
Mekanisme proses belajar perilaku
menyimpang sama halnya dengan proses belajar terhadap hal-hal lain yang ada di
masyarakat. Proses belajar itu dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan
perbuatan menyimpang. Misalnya, seorang anak yang sering mencuri uang dari tas
temannya mula-mula mempelajari cara mengambil uang tersebut mulai dari cara
yang paling sederhana hingga yang lebih rumit. Cara ini dipelajarinya melalui
media maupun secara langsung dari orang yang berhubungan dengannya. Penjelasan
ini menerangkan bahwa untuk menjadi penjahat kelas 'kakap', seseorang harus
mempelajari terlebih dahulu bagaimana cara yang paling efisien untuk
beroperasi.
4) Ikatan Sosial yang
Berlainan
Dalam masyarakat, setiap orang biasanya
berhubungan dengan beberapa kelompok yang berbeda. Hubungan dengan
kelompok-kelompok tersebut akan cenderung membuatnya mengidentifikasikan
dirinya dengan kelompok yang paling dihargainya. Dalam hubungan ini, individu
tersebut akan memperoleh pola-pola sikap dan perilaku kelompoknya. Apabila
pergaulan itu memiliki pola-pola sikap dan perilaku yang menyimpang, maka
kemungkinan besar ia juga akan menunjukkan pola-pola perilaku menyimpang.
Misalnya seorang anak yang bergaul dengan kelompok orang yang sering melakukan
aksi kebut-kebutan di jalan raya. Kemungkinan besar dia juga akan melakukan
tindakan serupa.
5) Ketegangan antara
Kebudayaan dan Struktur Sosial
Setiap masyarakat tidak hanya
memiliki tujuan-tujuan yang dianjurkan oleh kebudayaannya, tetapi juga caracara
yang diperkenankan oleh kebudayaannya itu untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan. Apabila seseorang tidak diberi peluang untuk menggunakan
caracara ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kemungkinan besar akan
terjadi perilaku menyimpang. Misalnya dalam sebuah perusahaan, pengusaha
memberikan upah kepada buruhnya di bawah standar UMK. Hal itu apabila dibiarkan
berlarut-larut, maka ada kemungkinan si buruh akan melakukan penyimpangan,
seperti melakukan demonstrasi atau mogok kerja.